PANTAU CRIME- Prinsip bahwa semua orang sama di mata hukum seolah kehilangan makna ketika berbicara tentang kasus dana bagi hasil migas (Participating Interest atau PI 10%) di Lampung. Kejaksaan Tinggi Lampung menyeret jajaran komisaris dan direksi PT Lampung Energi Berjaya (LEB) ke meja hijau dengan tuduhan penyalahgunaan dana, padahal mekanisme yang digunakan identik dengan praktik di provinsi lain yang justru mendapat apresiasi.
Langkah hukum ini menimbulkan tanya besar: apakah benar ini murni penegakan hukum, atau justru ada kepentingan politik di baliknya? Apalagi kasus ini mencuat pada masa panasnya kontestasi politik daerah, ketika kubu petahana dan oposisi sama-sama memperebutkan pengaruh di Lampung.
Ketimpangan Tafsir dalam Dana Migas
PI 10% merupakan hak daerah penghasil migas berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2016. Dana tersebut disalurkan kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang ditunjuk SKK Migas sebagai bentuk kepemilikan daerah dalam wilayah kerja migas.
BUMD penerima PI berperan sebagai entitas bisnis. Dana yang diterima bukan dana hibah atau bantuan pemerintah, melainkan hasil investasi. Karena itu, seluruh penerimaan dicatat sebagai pendapatan korporasi dan baru menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD) ketika dibagikan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Namun, prinsip ini tampaknya diabaikan dalam kasus Lampung. Pola yang sah dan diterapkan di banyak daerah lain justru dianggap menyalahi aturan. Ironisnya, di Riau, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur, pola identik itu justru dijadikan contoh pengelolaan BUMD yang baik.
Studi Kasus I: Riau Petroleum – BUMD yang Jadi Panutan
PT Riau Petroleum menjadi penerima PI 10% untuk Wilayah Kerja Rokan berdasarkan persetujuan SKK Migas dan Menteri ESDM. Dana PI disalurkan langsung oleh Pertamina Hulu Rokan (PHR) ke rekening perusahaan. Laba perusahaan dibagikan melalui RUPS kepada Pemprov Riau sebagai pemegang saham utama.
Seluruh transaksi diaudit oleh BPKP dan Kantor Akuntan Publik independen. Tidak ada sepeser pun dana yang langsung disetor ke kas daerah, karena statusnya bukan dana publik. Mekanisme ini berjalan bertahun-tahun tanpa ada masalah hukum. Bahkan, pemerintah pusat memuji Riau Petroleum sebagai salah satu model tata kelola BUMD migas yang profesional dan transparan.
Studi Kasus II: Migas Hulu Jabar (MUJ ONWJ) – BUMD dengan Tata Kelola Modern
Di Jawa Barat, PT Migas Hulu Jabar Offshore North West Java (MUJ ONWJ) dibentuk atas dasar keputusan Gubernur dan mendapat persetujuan SKK Migas. Pendapatan berasal dari bagi hasil produksi Pertamina Hulu Energi ONWJ.
MUJ ONWJ membagikan dividen kepada Pemprov Jabar melalui BUMD induknya, PT Migas Hulu Jabar. Setiap pembagian laba diputuskan dalam RUPS dan diaudit oleh auditor independen. Tidak ada dana yang harus masuk ke kas daerah lebih dulu, karena struktur keuangannya tunduk pada prinsip lex specialis di sektor migas.
Hasilnya, MUJ ONWJ menjadi BUMD energi yang sukses, bahkan memperluas bisnis ke bidang energi terbarukan. Tak pernah ada penyidikan, karena mekanisme pengelolaan sudah sesuai hukum dan prinsip tata kelola perusahaan.
Studi Kasus III: Migas Mandiri Pratama Kutai Timur (MMP-KT) – BUMD Teladan dari Timur
PT MMP-KT di Kalimantan Timur juga menjalankan mekanisme serupa. Perusahaan ini menerima PI 10% dari Wilayah Kerja Mahakam berdasarkan surat persetujuan Dirjen Migas. Dana disalurkan dari Total E&P, lalu Pertamina Hulu Mahakam.
Laba bersih dibagikan melalui RUPS kepada Pemkab Kutai Timur, sementara sisanya digunakan untuk biaya operasional dan cadangan usaha sesuai standar PSAK dan UU Perseroan Terbatas. Tidak hanya bebas dari masalah hukum, MMP-KT bahkan mendapat penghargaan dari SKK Migas karena dinilai memiliki tingkat kepatuhan terbaik dalam pengelolaan PI.
Lampung: Dari Korporasi Jadi Tersangka
Kondisi berbeda justru dialami PT LEB. Padahal struktur hukum, mekanisme keuangan, dan dasar pengelolaannya identik dengan BUMD lain. Namun, LEB justru dijerat kasus korupsi dengan dalih pengelolaan dana PI tidak sesuai aturan.
Yang lebih janggal, PT LEB tidak sendirian dalam proyek ini. BUMD tersebut berbagi kepemilikan PI 10% dengan BUMD DKI Jakarta, masing-masing 5%. Namun hanya LEB yang diproses hukum, sementara mitranya di Jakarta tidak tersentuh.
Kondisi ini menimbulkan dugaan kuat bahwa penyidikan terhadap LEB sarat dengan bias tafsir, bahkan tidak menutup kemungkinan dipengaruhi oleh tekanan politik. Apalagi kasus ini muncul menjelang momen penting politik di Lampung, di mana hubungan antarelite daerah sedang memanas.
Antara Penegakan Hukum dan Kepentingan Politik
Kasus PT LEB membuka perdebatan besar tentang keadilan hukum di Indonesia. Jika mekanisme yang sama dianggap sah di satu daerah tapi pidana di daerah lain, maka masalahnya bukan lagi pada hukum, melainkan pada tafsir dan siapa yang menafsirkannya.
Penegakan hukum seharusnya berdiri di atas dasar yang sama, bukan ditentukan oleh siapa yang sedang berkuasa. Banyak pihak menilai bahwa kasus LEB seharusnya menjadi momentum untuk meninjau ulang regulasi pengelolaan PI 10%, bukan malah menghukum pelaksana yang mengikuti aturan.
Perbandingan tiga daerah di atas membuktikan bahwa ketimpangan hukum benar-benar terjadi. Ketika BUMD lain mendapat penghargaan atas tata kelola yang sama, Lampung justru dijadikan kambing hitam.
Publik kini menunggu jawaban: apakah hukum masih menjadi alat keadilan, atau sekadar alat politik?
Satu hal yang pasti, keadilan tidak boleh lahir dari tafsir yang berat sebelah. Lampung pantas mendapat penjelasan, bukan hukuman yang menggantung tanpa kepastian.***



