PANTAU CRIME— Sidang pra peradilan kedua untuk M. Hermawan Eriadi, Direktur Utama PT LEB, di Pengadilan Negeri Tanjungkarang makin memanas. Kali ini, penasihat hukum Hermawan, Riki Martim, menyoroti ketidakjelasan motif Kejati Lampung dalam menetapkan kliennya sebagai tersangka.
Dalam sidang yang digelar Senin (1/12/2025) dengan hakim tunggal Muhammad Hibrian, Riki Martim menjelaskan bahwa jawaban Kejati Lampung sepanjang 16 halaman tidak memberikan detail mengenai perbuatan pidana atau pelanggaran hukum yang dilakukan kliennya. “Tidak ada uraian jelas tentang hubungan antara perbuatan dan kerugian negara, juga bagaimana unsur Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor dipenuhi,” jelas Riki.
Riki menegaskan, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/2014, setiap penetapan tersangka wajib menyebutkan perbuatan yang disangkakan beserta alat bukti yang mendukung. Namun, menurutnya, Kejaksaan hanya menyinggung ada saksi, ahli, dan dokumen, tapi sama sekali tidak menjelaskan apa tindakan konkret yang dilakukan Hermawan. “Alat bukti itu nggak ada artinya kalau nggak menunjukkan langsung perbuatan tersangka,” tegasnya, mengutip Putusan MA No. 42 PK/Pid.Sus/2018.
Masalah lain yang diangkat Riki adalah soal kerugian negara, salah satu faktor utama dalam kasus korupsi. Hingga saat ini, jaksa belum merinci berapa jumlah kerugian negara yang ditimbulkan, apalagi menunjukan hasil audit BPKP. “UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan putusan MK 25/PUU-XIV/2016 menegaskan bahwa kerugian negara harus nyata dan pasti (accrual loss), bukan sekadar potensi,” tambahnya. Menurut Riki, tanpa kejelasan ini, kepastian hukum dan prinsip due process of law sulit terpenuhi.
Menanggapi tudingan penasihat hukum, perwakilan Kejati Lampung, Rudi, memberikan klarifikasi. Ia menegaskan bahwa sangkaan terhadap Hermawan merujuk pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. “Kalau yang disangkakan sesuai pasal 2 dan pasal 3 tipikor, itu sangkaannya. Seperti itu kan,” ujarnya.
Sidang pra peradilan ini rencananya akan terus berlanjut untuk membahas bukti-bukti dan argumentasi tambahan. Para pengamat hukum menilai kasus ini menarik karena menyoroti keterbukaan Kejaksaan dalam mengungkap perbuatan tersangka, serta pentingnya keterkaitan bukti dengan dugaan kerugian negara.
Riki dan timnya menekankan bahwa kejelasan motif, bukti, dan angka kerugian negara adalah kunci agar proses hukum berjalan adil. “Ini bukan sekadar urusan formalitas, tapi soal hak konstitusional klien kami dan kredibilitas sistem hukum,” kata Riki.
Dengan alur persidangan yang belum jelas, publik dan pihak terkait masih menunggu apakah Kejati Lampung bisa mempresentasikan bukti dan motif yang transparan, atau kasus ini akan terus menimbulkan kontroversi.***





