PANTAU CRIME- Hingga saat ini, Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Muryanto Amin (Muryanto), masih belum hadir memenuhi pemanggilan dan pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pemanggilan ini terkait dugaan kasus korupsi proyek pembangunan jalan yang berada di bawah pengelolaan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Sumatera Utara (Sumut). Sikap mangkir yang ditunjukkan Muryanto dinilai berani karena tidak disertai alasan resmi dan tetap mengabaikan prosedur hukum yang berlaku.
Pemanggilan pertama semula dijadwalkan pada Jumat, 15 Agustus 2025, di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Padangsidimpuan, Sumut. Muryanto dijadwalkan diperiksa bersama 12 orang lainnya, termasuk Kepala Seksi Dinas PUPR Sumut, Edison, serta Kabag Pengadaan Barang dan Jasa Kabupaten Padang Lawas Utara, Asnawi Harahap. Namun, hingga kini, KPK belum menetapkan jadwal baru untuk pemeriksaan Muryanto.
Dalam perkembangan terbaru, KPK menyampaikan bahwa Muryanto masuk dalam istilah “circle” yang dibentuk oleh Gubernur Sumut, Muhammad Bobby Afif Nasution (Bobby), bersama dengan Kepala Dinas PUPR Sumut, Topan Obaja Putra Ginting (Topan). Bagi masyarakat Sumut, penjelasan ini bukan hal yang mengejutkan, karena publik sudah mengenal keterkaitan ketiga figur ini dalam pengelolaan berbagai proyek dan administrasi pemerintahan daerah. Namun, istilah “circle” yang dipakai KPK menjadi sorotan karena implikasinya dalam kasus dugaan korupsi, terutama setelah Topan telah ditetapkan sebagai tersangka, sementara Muryanto mangkir dari pemeriksaan, dan nama Bobby masih belum dipanggil secara resmi.
Dalam konteks dugaan tindak pidana korupsi, istilah circle dapat dimaknai sebagai kesepahaman dalam satu tindakan, di mana semua pihak yang terlibat memahami dan mengetahui jalannya tindakan tersebut. Makna lainnya adalah bahwa tindakan tersebut dilakukan secara bersama-sama, sehingga tanggung jawab dan keterlibatan masing-masing anggota circle menjadi relevan. Dengan demikian, KPK memiliki kewajiban untuk menjelaskan secara transparan makna circle antara Muryanto, Bobby, dan Topan agar publik memahami sejauh mana keterlibatan masing-masing pihak.
Status Muryanto sebagai Rektor USU menambah kompleksitas kasus ini. Sebagai pimpinan institusi pendidikan terkemuka, Muryanto seharusnya menjaga marwah dan kehormatan universitas. Ketidakpatuhannya terhadap panggilan KPK berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap USU, baik di tingkat nasional maupun lokal. Oleh karena itu, KPK didorong untuk memastikan pemanggilan dan pemeriksaan Muryanto berjalan sesuai hukum, tanpa pengecualian.
Selain itu, KPK sebaiknya berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi terkait sikap mangkir Muryanto. Koordinasi ini penting untuk memastikan adanya tindak lanjut terhadap pelanggaran prosedur pemeriksaan yang dapat merugikan penegakan hukum dan integritas lembaga pendidikan.
Seiring dengan hal tersebut, KPK diharapkan berlaku tegas terhadap seluruh saksi dan pihak yang telah dipanggil. Jika KPK mampu menindak kasus suap Harun Masiku dan memanggil sejumlah pejabat tinggi seperti mantan Kapolres Tapsel, AKBP Yasir Ahmadi; mantan Kajatisu, Idianto; Kajari Madina, Muhammad Iqbal; Gomgoman Simbolon; Kasidatun Kejari Madina; serta anggota Polri, Muhammad Syukur Nasution, maka institusi ini juga harus berani dan konsisten memanggil serta memeriksa Muryanto dan saksi lainnya yang mangkir.
Transparansi dan konsistensi tindakan KPK menjadi kunci bagi publik untuk menilai keseriusan lembaga ini dalam memberantas korupsi. Ketegasan terhadap semua pihak yang terlibat, termasuk figur berpengaruh di pemerintahan dan akademisi, akan memperkuat integritas KPK sekaligus memberi sinyal bahwa hukum berlaku tanpa pandang bulu.***








