PANTAU CRIME— Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanggamus resmi menghentikan penuntutan terhadap empat pengguna narkoba tanpa harus menjalani proses pengadilan, melalui pendekatan Restorative Justice (RJ). Keputusan tersebut ditandai dengan pelepasan rompi tahanan dan penyerahan SKP2 (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan) oleh Kepala Kejari, Dr. Adi Fakhruddin, S.H., M.H., M.A., Kamis (10/7/2025).
Empat tersangka yang mendapat keadilan restoratif ini adalah:
- Asropi – Warga Pekon Pariaman, Kecamatan Limau
- Heru Darmawan – Warga Pekon Banjar Manis, Kecamatan Gisting
- Verdian Refsi Maylindo – Warga Pekon Bandar Kejadian, Kecamatan Wonosobo
- Rio Triono – Penyandang disabilitas dari Kelurahan Baros, Kota Agung
Menurut Kajari, keputusan ini diambil berdasarkan pertimbangan kemanusiaan dan hasil asesmen dari BNN. Keempatnya terbukti sebagai pengguna, bukan pengedar, belum pernah dipidana sebelumnya, serta bersedia menjalani rehabilitasi secara penuh.
“Mereka akan menjalani rehabilitasi di Loka Kalianda BNN dengan durasi 3 hingga 6 bulan. Setelah itu, kami harap mereka bisa kembali ke masyarakat sebagai pribadi yang lebih baik,” tegas Adi Fakhruddin.
Pemberdayaan Pasca Rehabilitasi: MoU dan Pelatihan
Menariknya, Kejari Tanggamus tidak berhenti pada proses rehabilitasi medis semata. Kajari mengungkapkan bahwa pihaknya tengah menjalin kerja sama (MoU) dengan sejumlah OPD Pemkab Tanggamus untuk memfasilitasi pemberdayaan eks-pengguna pasca-rehab.
Salah satu contoh nyata adalah Rio Triono, penyandang disabilitas yang memiliki kemampuan dalam bahasa isyarat. Ia direncanakan akan dilibatkan sebagai penerjemah dalam kegiatan resmi kejaksaan atau instansi lain.
“Kami harus pikirkan masa depan mereka. Setelah sembuh, mereka butuh tempat untuk berkarya. BLK (Balai Latihan Kerja) akan jadi salah satu solusi,” ujar Kajari.
Hukum Tidak Melulu Soal Penjara
Langkah humanis Kejari Tanggamus ini patut diapresiasi, karena menunjukkan bahwa penegakan hukum juga bisa hadir dengan pendekatan pemulihan, bukan hanya hukuman. Restorative Justice menjadi bukti nyata bahwa negara hadir untuk menyembuhkan, bukan sekadar menghukum.***