PANTAU CRIME- Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung berhasil memenangkan sidang pra peradilan yang diajukan oleh Direktur Utama PT LEB, M. Hermawan Eriadi, pada Senin, 8 Desember 2025. Hakim tunggal Muhammad Hibrian menolak seluruh permohonan pemohon, sehingga penetapan tersangka terhadap Hermawan Eriadi oleh Kejati Lampung tetap berlaku dan sah menurut hukum.
Dalam persidangan, hakim Hibrian menyatakan, “Menimbang hasil persidangan, permohonan pemohon kami nyatakan tidak diterima,” menegaskan bahwa keputusan ini menegaskan kekuatan hukum penetapan tersangka oleh Kejati Lampung. Putusan ini secara tidak langsung memupus argumen yang muncul dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21/PUU-XII, yang mewajibkan penyidik memeriksa calon tersangka secara materiil sebelum penetapan.
Sebelumnya, sejumlah saksi ahli dari Universitas Indonesia, termasuk Akhyar Salmi dan Dian Puji Nugraha Simatupang, menilai penetapan tersangka terhadap Hermawan Eriadi tidak sah karena Kejati Lampung tidak memeriksa yang bersangkutan sebagai calon tersangka secara formal. Menurut mereka, pemeriksaan sebagai saksi dinilai belum cukup untuk menetapkan status tersangka. Dian menegaskan bahwa sesuai UU No. 15/2006 dan UU No. 15/2004, serta Peraturan BPK No. 1/2020, kerugian negara harus nyata, pasti, dan terukur sebelum seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka.
Kuasa hukum pemohon, Riki Martim, juga menyoroti kelengkapan berkas dugaan kerugian negara yang dilayangkan kepada kliennya. Ia menekankan bahwa bukti yang disampaikan tidak utuh dan hanya sebagian lembar dari ratusan halaman, sehingga tidak memenuhi standar sebagai alat bukti sah. Akhyar Salmi mendukung pandangan ini dengan menekankan bahwa alat bukti yang tidak lengkap belum bisa dijadikan dasar hukum yang kuat.
Pada sidang hari keempat, Rabu, 3 Desember 2025, pertanyaan penting diajukan kepada Dian terkait status PT LEB sebagai penerima fasilitas negara. Dian menegaskan bahwa fasilitas negara yang dimaksud adalah pembebasan pajak, pengurangan pajak, atau hibah langsung dari APBD. Menurutnya, PT LEB tidak menerima fasilitas tersebut, sehingga penetapan tersangka tidak bisa bergantung pada klaim fasilitas negara. Terkait participating interest (PI) 10%, Dian menjelaskan bahwa PI tersebut justru menghasilkan dividen untuk negara atau daerah, bukan merupakan fasilitas yang diberikan kepada perusahaan.
Keputusan hakim Muhammad Hibrian ini menegaskan bahwa seluruh argumen saksi ahli, termasuk terkait SEMA Mahkamah Agung No. 10 Tahun 2020 dan putusan MK, tidak membatalkan sahnya penetapan tersangka. Dengan demikian, status tersangka M. Hermawan Eriadi tetap berlaku, terutama terkait dugaan tindak pidana korupsi dana PI 10% yang menjadi perhatian serius dalam pengelolaan migas di Indonesia.
Selain itu, keputusan ini menegaskan prinsip hukum bahwa penetapan tersangka tidak harus bergantung sepenuhnya pada hasil pemeriksaan formal calon tersangka jika dalam praktik penyidikan sudah ditemukan bukti permulaan yang cukup. Kejati Lampung menekankan bahwa langkah mereka telah sesuai dengan ketentuan KUHAP dan prinsip profesionalisme penyidikan, termasuk penggunaan bukti dokumen dan pemeriksaan saksi lapangan.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena menyangkut integritas pengelola migas dan tata kelola keuangan negara. Status tersangka Hermawan Eriadi masih akan berlanjut hingga proses penyidikan selesai, sementara pihak direksi dan komisaris PT LEB harus bersiap menghadapi kemungkinan pengembangan kasus yang lebih luas terkait dugaan penyalahgunaan dana negara.
Keputusan ini juga memberi sinyal kuat bahwa aparat penegak hukum di Lampung tetap menegakkan aturan secara independen meski menghadapi tekanan hukum dan opini publik. Kasus ini bisa menjadi preseden bagi pengawasan terhadap perusahaan yang mengelola sumber daya strategis dan fasilitas negara, memastikan bahwa pengelolaan dana publik dilakukan dengan akuntabilitas tinggi.***


