PANTAU CRIME— Kasus dugaan korupsi pengelolaan dana Participating Interest (PI) 10% oleh PT Lampung Energi Berjaya (LEB) terus menjadi sorotan tajam publik dan praktisi hukum. Perdebatan kian memanas setelah sejumlah pakar menilai langkah hukum yang ditempuh penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung berpotensi menimbulkan kriminalisasi terhadap keputusan bisnis yang sah secara hukum korporasi.
Kasus ini bermula dari dugaan penyimpangan dalam pembagian dividen hasil pengelolaan PI 10% antara tahun 2018–2023. Tiga petinggi PT LEB telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 22 September 2025, namun hingga kini belum ada pengumuman resmi mengenai angka kerugian negara, meski penyidikan sudah berjalan lebih dari satu tahun.
“Dividen yang dibagikan itu dilakukan lewat mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), berdasarkan laporan keuangan yang sudah diaudit dan mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Jadi, di mana letak pelanggarannya?” ujar seorang pakar hukum korporasi Universitas Lampung, Rabu (22/10/2025).
Keputusan RUPS Tak Bisa Dipidana
Dalam sistem hukum korporasi, keputusan RUPS adalah keputusan tertinggi yang sah dan mengikat seluruh pemegang saham. Prinsip Business Judgment Rule (BJR) melindungi direksi dan komisaris dari ancaman pidana atas keputusan bisnis yang diambil dengan itikad baik dan berdasarkan pertimbangan rasional.
“Kalau direksi sudah menjalankan tugas sesuai aturan, berdasarkan data keuangan yang sah, dan tidak ada niat jahat, maka keputusan bisnisnya tak bisa dipidana. BJR itu pelindung bagi pejabat BUMN maupun BUMD,” tegas sang pakar.
Ia merujuk pada Pasal 71 dan Pasal 97 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang menegaskan bahwa pengurus perusahaan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana selama bertindak hati-hati dan sesuai ketentuan hukum.
Dividen Rp214 Miliar Justru Jadi PAD, Bukan Kerugian
Data akta notaris RUPS PT LEB tertanggal 23 Agustus 2023 mencatat pembagian dividen sebesar Rp214,867 miliar kepada dua pemegang saham: PT Lampung Jasa Utama (LJU) dan PDAM Way Guruh Lampung Timur. Dana tersebut bersumber dari penerimaan PI sekitar Rp271 miliar selama lima tahun terakhir.
Dividen yang diterima kedua BUMD itu bahkan menjadi tambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagaimana diatur dalam Pasal 28 PP Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD. “Jadi bukan uang negara yang hilang, justru uang masuk ke kas daerah. Ini tidak bisa dikategorikan kerugian negara,” tegas pakar tersebut.
Laporan keuangan LEB yang diaudit Kantor Akuntan Publik independen juga menyebut kondisi keuangan perusahaan dalam keadaan wajar tanpa pengecualian (WTP). Seluruh aliran dana dividen telah diterima sesuai porsi masing-masing pemegang saham.
Unsur Kerugian Negara Harus Terukur dan Resmi
Menurut hukum pidana, unsur kerugian negara dalam kasus korupsi harus nyata, pasti, dan terukur. Berdasarkan UU Tipikor Pasal 2 dan 3, penyidik wajib membuktikan adanya perbuatan melawan hukum serta hasil audit resmi dari BPK atau BPKP.
“Hingga kini belum ada hasil audit resmi yang disampaikan ke publik. Tanpa angka kerugian yang sah, unsur pidana tidak terpenuhi,” ujar pakar hukum pidana nasional yang enggan disebutkan namanya. Ia menambahkan bahwa menjerat keputusan bisnis tanpa bukti kuat bisa dianggap ultra vires atau tindakan yang melampaui kewenangan hukum.
Risiko Kriminalisasi Direksi dan Komisaris
Sejumlah akademisi dan praktisi menilai bahwa kriminalisasi terhadap keputusan korporasi akan menciptakan efek domino negatif bagi dunia usaha, khususnya BUMD. “Kalau semua keputusan bisnis dianggap tindak pidana, siapa yang berani ambil keputusan strategis? Akibatnya, investasi daerah bisa stagnan,” kata seorang praktisi hukum senior di Jakarta.
Menurutnya, perbedaan interpretasi terhadap standar akuntansi keuangan (PSAK), keterlambatan RUPS, atau perbedaan pencatatan aset tidak bisa langsung dikriminalisasi. “Itu ranah administrasi korporasi, bukan pidana,” ujarnya.
Audit, Kurs APBN, dan Praktik Akuntansi
Dalam laporan keuangan LEB tahun 2022, auditor menggunakan kurs asumsi APBN dalam mengonversi pendapatan dolar AS — praktik yang umum dilakukan di sektor migas. Sepanjang metode itu dijelaskan dalam catatan atas laporan keuangan (CALK) dan diterima auditor tanpa catatan, maka laporan tersebut sah dan sesuai standar.
“Jika laporan sudah mendapat opini WTP, artinya tidak ditemukan penyimpangan material. Kecuali jika terbukti ada rekayasa atau niat jahat, maka baru bisa dikategorikan pelanggaran hukum,” ujar seorang auditor publik di Lampung.
Seruan Penegakan Hukum yang Adil dan Proporsional
Kasus PT LEB kini menjadi ujian besar bagi Kejaksaan dan aparat penegak hukum untuk menyeimbangkan aspek hukum pidana dan hukum korporasi. Para pakar mengingatkan agar penegakan hukum tidak digunakan untuk menakut-nakuti pejabat BUMD yang bekerja dengan niat baik.
“Penegakan hukum harus adil dan proporsional. Jangan sampai BUMD yang sehat justru lumpuh karena takut mengambil keputusan,” tegas pakar hukum ekonomi Universitas Indonesia.
Publik kini menunggu langkah Kejati Lampung dalam mengumumkan dua hal krusial: hasil audit kerugian negara dan daftar aset sitaan yang pernah disampaikan sejak 2024. Tanpa kejelasan dua hal tersebut, kasus ini berisiko menjadi preseden buruk dalam dunia bisnis daerah.
“Korupsi itu soal niat jahat memperkaya diri, bukan salah perhitungan dalam laporan laba. Jangan samakan kesalahan administratif dengan kejahatan keuangan,” pungkas pakar hukum itu.***