PANTAU CRIME – Kawanan gajah kembali memasuki pemukiman warga di Blok III dan IV pada 26 Desember 2024, yang berakibat tragis dengan tewasnya seorang lansia di Register 39, Kecamatan Bandar Negeri Semuong, Kabupaten Tanggamus. Menanggapi kejadian tersebut, pihak berwenang segera melakukan langkah-langkah penanganan yang lebih komprehensif guna mengatasi konflik antara manusia dan satwa liar.
Pada Kamis, 2 Januari 2025, telah digelar rapat koordinasi yang melibatkan sejumlah pihak, termasuk Kapolres Tanggamus, Kepala Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Tanggamus, Sekretaris Dinas Sosial, Sekretaris Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, serta perwakilan BPBD, Damkar, dan Kodim. Rapat ini bertujuan untuk menyusun langkah-langkah efektif dalam penanganan konflik satwa tersebut.
Langkah-Langkah Penanganan Konflik Satwa
Salah satu langkah yang telah disepakati adalah penggiringan gajah yang dilakukan oleh Tim TNBBS bersama dengan Mahout (pawang gajah) dan masyarakat setempat. Penggiringan ini berlangsung selama lima hari, dimulai pada 31 Desember 2024 hingga 4 Januari 2025, dengan penyesuaian berdasarkan kondisi lapangan. Selama proses tersebut, pihak Kehutanan (KPH) akan mengosongkan jalur atau talang yang akan digunakan untuk penggiringan, sementara Polres dan Kodim melalui Polsek dan Babinsa membantu mengondisikan masyarakat agar tidak menghalangi jalur penggiringan tersebut.
Selain itu, Pemerintah Kabupaten Tanggamus melalui Dinas Sosial dan BPBD juga memberikan dukungan logistik kepada tim penggiring gajah yang bertugas di Kecamatan Bandar Negeri Semuong. Beberapa barang yang disalurkan antara lain:
– 50 kg Beras
– 22 kg Gula
– 24 liter Minyak Goreng
– 160 bungkus Mie Instan
– 6 dus Air Mineral
– 2 paket Kopi
– 2 paket Teh
– 24 bungkus Roti
– 14 buah Sardin
– 10 buah Kornet
Penanganan Konflik Satwa Dilindungi
Penting untuk dicatat bahwa gajah merupakan satwa yang dilindungi, dan lokasi kejadian terletak di wilayah Hutan Lindung dan TNBBS yang merupakan situs warisan dunia UNESCO. Oleh karena itu, penanganan konflik ini membutuhkan upaya yang tepat agar tidak merusak keberadaan satwa tersebut, serta menghindari terjadinya dampak negatif bagi masyarakat setempat.
Ke depan, langkah-langkah serupa akan terus dilakukan untuk mengatasi permasalahan serupa dan memastikan keamanan baik bagi masyarakat maupun satwa liar di kawasan tersebut.***